masukkan script iklan disini
PENAJURNALIS.MY.ID, MAKASSAR – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang memberikan kewenangan kepada parlemen untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah lolos uji kelayakan dan kepatutan. Pejabat yang terdampak meliputi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Kebijakan ini langsung menuai kritik tajam karena dianggap mengancam independensi lembaga negara dan berpotensi menjadi alat tekanan politik.
Wakil Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Makassar, Agustinus Bangun, SH, MH, menilai revisi tersebut bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan undang-undang diantaranya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bahkan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan DPR itu sendiri. Ia menegaskan bahwa revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang dilakukan dengan cara menyisipkan satu pasal diantara Pasal 228 dan Pasal 229 yakni Pasal 228A merupakan pengambilan kekuasaan secara melawan hukum dan menempatkan DPR pada kedudukan lebih tinggi dari lembaga negara yang pejabatnya di fit and proper test DPR.
Adapun, Pasal 228A sebagai berikut; “(1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.
Dengan adanya revisi ini, potensi intervensi politik dalam penegakan hukum dan independensi lembaga peradilan semakin menguat, ujar Managing Partner AB&P Law Firm tersebut. Ia menekankan bahwa kewenangan baru ini dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik tertentu sehingga potensial mengancam independensi lembaga negara karena menghindari konflik dengan DPR. Oleh karena itu, ia menyerukan agar revisi Tata Tertib DPR ini dibawa kehadapan Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi.
Kritik terhadap revisi ini semakin luas, dengan banyak pihak mendesak agar aturan tersebut dikaji ulang atau diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang paling vokal adalah Viani Octavius, Senior Partner pada ABN&P Law Firm, yang menyebut langkah DPR ini sebagai ancaman bagi prinsip Trias Politica yang menjadi dasar pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
"Peraturan ini secara de jure menempatkan DPR pada posisi lebih tinggi dibandingkan lembaga yudikatif seperti MK dan MA, serta melucuti independensi lembaga negara seperti KPK, KPU, dan Bawaslu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi serta UU yang telah mengatur penyelenggaraan negara," ujar Viani.
Ia juga menyoroti bahwa revisi ini berpotensi merusak aturan ketatanegaraan dan menciptakan ketidakpastian hukum, bahkan dapat mengaburkan konsep negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat).
(*Rz)